Dalam satu kesempatan, Moewardi sempat berdebat dengan Ir Soekarno. Dilansir Majalah Veteran, sempat terjadi perdebatan antara Moewardi dengan Sukarno dalam proses pembacaan teks proklamasi. Moewardi yang tidak sabaran menunggu masuk ke kamar Bung Karno dan mendesak Bung Karno agar segera mengumumkan Proklamasi sendiri saja tanpa menunggu kedatangan Bung Hatta. Alasannya karena Bung Hatta sudah menandatangani teks Proklamasi. Pada mulanya Bung Karno menjawab dengan tenang saja, tetapi karena Moewardi mendesak dengan nada marah Bung Karno menjawab: “Saya tidak mau mengucapkan proklamasi kalau Hatta tidak ada, kalau Mas Moewardi tidak mau tunggu silahkan baca Proklamasi sendiri”. Dialog kedua tokoh ini disaksikan oleh Sudiro dan sesudah itu Moewardi tidak mendesak Bung Karno lagi. Sebetulnya Moewardi melakukan itu karena Sudiro melihat di sekitar jalan Pegangsaan terlihat seorang Jepang yang sedang bercakap-cakap dengan Sukardjo Wirjopranoto. Keduanya sebenarnya khawatir kalau Proklamasi belum dibacakan sudah di serbu Jepang, sehingga akhirnya Proklamasi gagal. Setelah teks proklamasi dibacakan, Moewardi jadi pria terpilih untuk memberi sambutan setelah Soewirjo, wakil wali kota Jakarta saat itu.
Karena kesibukan di dalam awal mendirikan Republik Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter. Dalam usahanya melawan aksi anti Pemerintah yang dijalankan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Moewardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada tahun 1948. Akhirnya, setelah pemindahan ibukota dari Jogjakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang, hingga ia pilih menetap di Solo. Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditanggalkan. Praktik dengan segala macam pasien juga dia layani hingga tiba pada 13 September 1948. Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat. Diceritakan dalam buku 'PKI Bergerak', karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng Republik Indonesia (sebelumnya bernama Barisan Pelopor) mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno dan Hatta. Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis. Alih-alih nurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ia berkata : "Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya harus segera dioperasi," Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit operasi THT di Ziekenzorg (dulu Zending Hospital, kini RSUD Dr. Moewardi, Jebres) untuk melakukan operasi terhadap pasien, seorang anak yang menderita sakit parah. Tak lama kemudian, pada pukul 11.00, terdengar keriuhan dari letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu. Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Penyebabnya, para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya, sebelum dibawa hilang entah kemana. Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk diantarnya Moewardi habis dibunuh. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya. Gubernur Militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius. Tapi, hingga kini, keberadaan Moewardi masih misterius. Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan. Moewardi hilang meninggalkan tujuh orang anak.
idr 45 slot login KOMPAS.com - Dr. Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA atau Sekolah Kedokteran di Batavia atau. Ia merupakan Ketua Barisan Pelopor
Dibentak oleh Bung Karno