Karena kesibukan di dalam awal mendirikan Republik Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter. Dalam usahanya melawan aksi anti Pemerintah yang dijalankan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Moewardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada tahun 1948. Akhirnya, setelah pemindahan ibukota dari Jogjakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang, hingga ia pilih menetap di Solo. Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditanggalkan. Praktik dengan segala macam pasien juga dia layani hingga tiba pada 13 September 1948. Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat. Diceritakan dalam buku 'PKI Bergerak', karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng Republik Indonesia (sebelumnya bernama Barisan Pelopor) mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno dan Hatta. Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis. Alih-alih nurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ia berkata : "Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya harus segera dioperasi," Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit operasi THT di Ziekenzorg (dulu Zending Hospital, kini RSUD Dr. Moewardi, Jebres) untuk melakukan operasi terhadap pasien, seorang anak yang menderita sakit parah. Tak lama kemudian, pada pukul 11.00, terdengar keriuhan dari letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu. Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Penyebabnya, para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya, sebelum dibawa hilang entah kemana. Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk diantarnya Moewardi habis dibunuh. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya. Gubernur Militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius. Tapi, hingga kini, keberadaan Moewardi masih misterius. Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan. Moewardi hilang meninggalkan tujuh orang anak.

" /> Karena kesibukan di dalam awal mendirikan Republik Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter. Dalam usahanya melawan aksi anti Pemerintah yang dijalankan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Moewardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada tahun 1948. Akhirnya, setelah pemindahan ibukota dari Jogjakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang, hingga ia pilih menetap di Solo. Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditanggalkan. Praktik dengan segala macam pasien juga dia layani hingga tiba pada 13 September 1948. Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat. Diceritakan dalam buku 'PKI Bergerak', karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng Republik Indonesia (sebelumnya bernama Barisan Pelopor) mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno dan Hatta. Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis. Alih-alih nurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ia berkata : "Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya harus segera dioperasi," Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit operasi THT di Ziekenzorg (dulu Zending Hospital, kini RSUD Dr. Moewardi, Jebres) untuk melakukan operasi terhadap pasien, seorang anak yang menderita sakit parah. Tak lama kemudian, pada pukul 11.00, terdengar keriuhan dari letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu. Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Penyebabnya, para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya, sebelum dibawa hilang entah kemana. Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk diantarnya Moewardi habis dibunuh. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya. Gubernur Militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius. Tapi, hingga kini, keberadaan Moewardi masih misterius. Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan. Moewardi hilang meninggalkan tujuh orang anak.

" />

Bakti Sosial RSUD Dr Moewardi - Pemerintah Kota

dr moewardi   gambar drag

Karena kesibukan di dalam awal mendirikan Republik Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter. Dalam usahanya melawan aksi anti Pemerintah yang dijalankan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang merupakan anak organisasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Moewardi mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada tahun 1948. Akhirnya, setelah pemindahan ibukota dari Jogjakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang, hingga ia pilih menetap di Solo. Di Solo, Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditanggalkan. Praktik dengan segala macam pasien juga dia layani hingga tiba pada 13 September 1948. Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk berpraktek mengingat kondisi negara sedang gawat. Diceritakan dalam buku 'PKI Bergerak', karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan Barisan Banteng Republik Indonesia (sebelumnya bernama Barisan Pelopor) mengabarkan sebuah dokumen kepada Sukarno dan Hatta. Isinya, mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh Pesindo yang berhaluan komunis. Alih-alih nurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap kukuh menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Ia berkata : "Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien saya harus segera dioperasi," Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit operasi THT di Ziekenzorg (dulu Zending Hospital, kini RSUD Dr. Moewardi, Jebres) untuk melakukan operasi terhadap pasien, seorang anak yang menderita sakit parah. Tak lama kemudian, pada pukul 11.00, terdengar keriuhan dari letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu. Harry A Poezoe menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Penyebabnya, para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya, sebelum dibawa hilang entah kemana. Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk diantarnya Moewardi habis dibunuh. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya. Gubernur Militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius. Tapi, hingga kini, keberadaan Moewardi masih misterius. Bila meninggal pun, tak ada yang tahu di mana dia dimakamkan. Moewardi hilang meninggalkan tujuh orang anak.

 dr. Moewardi secara resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964. Inisiator Pekan Olahraga

gambar drag

Akhir Kisah Sang “Dokter Gembel”

Dua anak dari Suprapti, istri pertama, yaitu Sri Sejati dan Adi. Kemudian lima anak lain dari istri keduanya, Susilowati, yaitu Ataswarin Kamarijah, Kusumarita, Cipto Juwono, Banteng Witjaksono dan Happy Anandarin Wahyuningsih. Salah seorang anak Moewardi, Banteng Witjaksono, menceritakan mengenai kehilangan ayah yang membuat ibu mereka menjadi orang tua tunggal dan harus menghidupi seluruh anak mereka. Dikisahkan dari cicit Moewardi, Lichte Christian Purbono, pencarian Moewardi terus dilakukan hingga puluhan tahun lamanya. Karena tak tahu di mana keberadaannya, para keluarga hanya bisa melakukan kegiatan tabur bunga di patung Moewardi yang berada di Rumah Sakit Moewardi, Solo. Kegiatan ini rutin dilakukan oleh keluarga hingga kini, meski, tak ada satu pun anak cucu Moewardi yang tinggal di Solo. Untuk mengenang sosoknya dan menghargai jasanya secara resmi Moewardi dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964. Selain diberi gelar pahlawan, nama Moewardi juga disematkan sebagai nama rumah sakit yang di putuskan melalui surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah tanggal 24 Oktober 1988. Pergantian nama pun dilakukan bertepatan pada hari pahlawan 10 November 1988 dari semula RSUD Kelas B Provinsi Dati I menjadi RSUD Dr Moewardi Surakarta. (*)

gambar drag

Dibentak oleh Bung Karno

 KOMPAS.com - Dr. Moewardi adalah seorang dokter lulusan STOVIA atau Sekolah Kedokteran di Batavia atau. Ia merupakan Ketua Barisan Pelopor

Rp.110.000
Rp.1291-75%
Kuantitas
Dijual oleh